CAKRA Banten, Kab. Tangerang - Di Desa Matagara, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, seorang petani tradisional bernama Sanin, 60 tahun, tetap tekun dan istiqomah menggarap lahan pertanian. Bersama istrinya, Nurhayati, dan keponakannya bernama Udin, 30 yang masih bujangan, Sanin menekuni pertanian konvensional di lahan seluas 4000 meter persegi.
Di atas lahan tersebut, pada 1000 meter persegi Sanin menanam petai yang ditumpangsari dengan cabai, pada lahan seluas 1000 meter persegi lainnya Ia tumpangsarikan singkong dengan kumili, dan sisanya seluas 2000 meter persegi ditanami pisang. Rencananya, Sanin akan membuka lahan baru seluas 1000 meter persegi, untuk menanam labu.
Sanin meneruskan tradisi bertani yang sudah turun-temurun dari kakek moyangnya. Namun, bertani saat ini menjadi semakin sulit karena tingkat kesuburan tanah yang menurun dan volume air yang semakin berkurang. "Bertani sekarang kendala air yang semakin susah, selain susah air pupuk juga semakin langka," keluh Sanin. Ia menambahkan bahwa harga pupuk yang mahal membuat bertani menjadi lebih sulit, karena pupuk subsidi pemerintah tidak selalu tersedia untuk semua orang.
Sanin juga merasa prihatin dengan kondisi pemasaran hasil pertanian. "Pas sudah panen, pemasaran bukan petani yang menentukan harga tapi orang yang mau beli," ujarnya. Namun, Sanin menemukan peluang dengan menanam pisang tanduk, yang dibeli dengan harga satuan. "Untuk harga satu buah pisang tanduk yang super bisa dihargai Rp 3.000 per bijinya," jelasnya.
Tantangan lain yang dihadapi Sanin adalah 40 pohon petai yang sudah berusia lima tahun namun belum berbunga. Sanin mengakui bahwa ia belum tahu jenis pupuk yang cocok untuk budidaya petai, dan tidak memiliki anggaran untuk membelinya. Ia berharap ada penyuluh pertanian yang bisa membantu dan memberikan pengetahuan tentang cara membudidayakan pohon petai.
Sanin juga berbagi kekhawatirannya tentang masa depan anak-anaknya. Anak pertamanya, Biki Firdaus, yang kini berusia 17 tahun, tidak melanjutkan pendidikan setelah lulus sekolah dasar dan belum bekerja. "Semoga ada penyuluh pertanian bisa membantu saya, yang bisa memberi tahu tata cara membudidayakan pohon petai, juga memotivasi anak saya agar mau bertani," harap Sanin.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Sanin tetap bersyukur karena masih memiliki lahan yang bisa digarap. Selain menggarap lahan milik keluarganya, ia juga diberi kuasa untuk menggarap lahan milik sejumlah perusahaan yang belum difungsikan. Sanin berharap adanya program bantuan modal pertanian dari pemerintah, seperti ternak sapi, kambing, bebek, atau ikan, untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Sanin, yang merupakan putra asli Matagara, Tigaraksa, juga berharap mendapatkan informasi tentang sekolah yang murah dan terjangkau untuk pendidikan anak keduanya, Siti Nurfadilah, yang kini berusia sebelas tahun. "Saya ingin putri saya tidak mengalami putus sekolah seperti anak sulung saya," tutup Sanin.
Kisah Sanin adalah contoh nyata ketekunan dan ketabahan seorang petani yang terus berjuang di tengah keterbatasan. Semangatnya untuk terus bertani dan harapannya untuk masa depan yang lebih baik menunjukkan betapa pentingnya dukungan bagi para petani di pedesaan.(Kdr)
Posting Komentar