Nanti Kita Bertemu Lewat Mimpi Saja


A short story by Celine Adinda



cakrabanten.co.id,- KETIKA semua orang merasa bahwa malam adalah waktu yang menyusahkan, mereka harus memikirkan bagaimana caranya tertawa esok hari, bagaimana mereka harus bertahan, lalu menangisi hari yang baru saja mereka jalani. Tapi, tidak untuk gadis berambut pirang bernama Niskala. 


Seorang yang sangat irit bicara, bukan karena ia bisu, namun, menurutnya kehidupan di sekitarnya tidaklah menarik untuk di bicarakan. Sering kali ia kerap menciduk beberapa gadis yang sedang bergosip di toilet, ujung kelas, bahkan di tempat ramai seperti, kantin. Buang-buang energi, buang-buang waktu, begitu pikir Niskala.


Namun sejatinya, Niskala tetaplah seorang gadis yang bisa merasakan detak jantungnya berkejaran. Gadis berambut pirang itu menyelipkan perasaannya pada seorang pria yang sekarang menjabat sebagai ketua BEM fakultasnya. Rayhan Pratama. Pria tegas dan cakap yang menjadi kebanggaan Fakultas Kedokteran saat ini. Sudah menjadi kebiasaan ketika Rayhan mengadakan forum diskusi, Niskala akan terpana melihat wajahnya yang teduh, dan berkarisma. 


Kesempatan itu Niskala gunakan untuk terus memandangi Rayhan yang berceloteh tentang program kerja yang akan mereka jalankan. Ah iya, Niskala juga sebenarnya adalah anggota dari BEM FK yang dipimpin oleh pujaan hatinya, ia menjabat sebagai sekretaris. Mengingat kepribadiannya yang sangat tertutup, urusan berdiam diri dan berkutik dengan laptop adalah tugas yang sangat cocok untuk Niskala.


“Kala, surat yang kemarin gue minta tolong buatin udah selesai?” Rayhan membuyarkan lamunan Niskala, si rambut pirang itu baru sadar ternyata dirinya sedang berada di dalam ruang sekretariat. Tidak banyak orang di sana, hanya ada Niskala yang baru terbangun dari lamunan panjangnya, ada Rayhan sang ketua sekaligus pujaan hati Niskala, juga ada Awan, Laras, dan si pembuat stand up komedi dadakan, Fauzan.


“Udah,” tidak banyak kata yang keluar dari mulutnya, namun, sumpah serapah ia semburkan di dalam hati. Gak usah pakai almamater bisa nggak, Ray? Lengan lo nggak usah dilipet juga, nyusahin gue! 


Di luar dugaan si rambut pirang, Rayhan Pratama tiba-tiba menarik kursi di sebelahnya lalu mendekatkan wajahnya untuk mengintip tugas Niskala. Aduh, hati Niskala! Gadis itu berusaha untuk mengendalikan emosinya, ia takut Rayhan menciduk wajahnya yang mirip kepiting rebus. “Kalau perlu bantuan bilang aja, Kal. Gue liat-liat lo dari tadi masih di bab ini terus, lagi ada masalah?” untungnya gadis itu dianugerahi kepandaian memblokir salting-nya dengan cepat, “Nggak ada,” Rayhan mengacak-acak rambut si pirang, disusul dengan senyum yang sengaja ia pasang di wajah teduhnya, “Istirahat dulu, proposal biar gue yang lanjutin. Makan dulu sama anak-anak, tuh, tadi gue beliin nasi padang.” Niskala tidak bisa melawan ucapan pria itu, laptop-nya sudah di ambil alih oleh sang pujaan hati, terlihat rambutnya yang sedikit berantakan akibat kegiatan yang cukup banyak dilakukan hari ini. Ah, masa bodo, Rayhan tetaplah Rayhan bagi Niskala. Pria itu akan tetap menarik atensinya dengan gaya apapun.


FAKTA bahwa malam adalah sesuatu yang Niskala tunggu memang benar adanya. Setelah melanjutkan beberapa pekerjaannya yang sempat tertunda tadi, gadis itu kembali ke ranjang beserta buku harian yang selalu ia tulis hampir setiap malam. Usai melaporkan kejadian hariannya pada buku bersampul biru itu, Niskala merebahkan tubuhnya. Ia menatap lamat satu novel yang terpajang di rak terpisah dari novel-novel lain, pasalnya novel bertajuk ‘Laut Bercerita’ karya Leila. S. Chudori itu adalah pemberian istimewa dari Rayhan Pratama, pria itu mengetahui kegemaran Niskala yang menyukai buku fiksi. 


Si rambut pirang tersenyum, “Nanti kita bertemu lewat mimpi saja, ya, Rayhan?”. Gadis itu merasa hanya lewat mimpi ia bisa bersuka ria mengeluarkan ekspresinya, bercerita panjang tentang setiap detik yang ia lalui, tentang perasaannya yang terkubur jauh. Di sana, Niskala melihat dunianya bersama Rayhan, melihat kehidupannya yang tidak lagi ia katakan membosankan.


Sekali lagi, Niskala sadar akan realita yang ia hadapi. Menjadi gadis yang tidak banyak bicara, apalagi memamerkan gigi putihnya. Tetapi, ia malah mengidamkan seorang yang lembut dan tegas seperti Rayhan menjadi tempat dirinya pulang. Niskala tahu, gadis sepertinya sangat tidak cocok jika bersanding dengan si ketua BEM. Seperti minyak dan air.


Siap!
“Kala? Benangmu kembali bewarna merah, kau merasakan apa tentang Rayhan?” Netral si rambut pirang tiba-tiba fokus pada wanita yang sedang duduk tepat di sebelahnya, wanita itu terlihat mengenakan pakaian bersih dan rapih, juga dibalutkan jubah putih. Kepalanya terasa sedikit memutar, lalu, wanita itu bertanya,“Kamu ingat siapa namamu?” pertanyaan itu tentu membuat dahi Niskala mengerut, “Niskala,” wanita itu tersenyum, kemudian melepaskan benda yang entah sejak kapan terpasang di kepala si rambut pirang. 


“Aku bisa menebak kau tidak ingat aku lagi, ‘kan?” untuk yang kedua kalinya Niskala dibuat bingung dengan situasi ini, “Ayolah, Kala, aku ibumu, sayang. Ya, tapi sekarang aku sedang bekerja menjadi doktermu. Jadi, kali ini kau menjabat sebagai sekretaris BEM fakultas dibawah kepengurusan Rayhan? setelah menjadi penjaga perpustakaan, kemudian berevolusi menjadi penulis film, dan sekarang sekretaris. 


Baiklah, Kala, sepertinya ceritamu selalu berhubungan dengan sesuatu yang dapat dirangkai, kau juga sepertinya senang merakit dan menyusun banyak kata. Namun, satu hal yang aku sangat sadari tentangmu, anakku. Kau mencintai sosok Rayhan di dalam kepalamu, apa aku benar?” Niskala mencerna semua kalimat yang baru saja keluar dari mulut wanita yang mengaku sebagai ibunya, dan bahkan mengatakan bahwa dirinya seorang dokter.


10 menit berlalu, Niskala akhirnya sadar ia ada di bawah pengaruh pengobatan sang ibu. Mengingat kehidupan sosialnya yang sangat buruk hingga membuat Niskala mengalami halusinasi hebat, gadis itu bisa mendengar suara-suara yang tidak ia kenal, melihat sosok lelaki yang ia beri nama Rayhan berkeliaran di kepalanya, menciptakan dunia kemudian merangkainya dengan apik. Situasi ini membuat dirinya tidak sadar bahwa ia sendiri sedang terjebak dalam delusinya, hidup dengan kepribadian yang acuh namun, memiliki banyak relasi yang baik, kehidupan seperti diam-diam mencintai seorang laki-laki. Niskala merajut kisah seperti itu di kepalanya.


“Istirahatlah, aku yakin kau akan membaik, sayang. Aku akan merawatmu,”
Gadis berambut pirang itu kembali dituntun ke ranjang rawatnya, wanita itu mengecup singkat dahi Niskala, manik matanya tidak bisa berbohong kalau ia sangat merindukan sosok Niskala yang hanya cerewet pada ibunya.


Pulanglah, Niskala, ibu rindu.
Namun, sepertinya si rambut pirang belum usai menyelesaikan ceritanya. Ia kembali tersenyum dan menatap dinding kosong di sebrang nakas, nama Fauzan, Awan, Laras, dan juga.. Rayhan, terucap lagi dari bibir kecilnya.

“Rayhan, kita mengobrol di sini saja, ya?”


Celine Adinda - Penulis Sastra

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama