Hj. Humaeroh, S.Pd, MM
(Dosen Universitas Prima Graha)
Oleh: Hj. Humaeroh, S.Pd, MM
(Dosen Universitas Prima Graha)
CAKRA Banten,- Cerita Suku Baduy, salah satu asset budaya nusantara – tak akan pernah habis untuk dibicarakan. Asal usul suku Baduy diperkirakan berasal dari masa Kerajaan Pajajaran sejak ratusan tahun lalu. Suku Baduy dikenal dengan kehidupan yang tertutup dari modernisasi, mempertahankan adat dan budaya leluhur.
Suku Baduy terletak di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakatnya masih kental dengan ritual dan adat mereka. Kehidupan mereka menyatu dengan alam. Jauh dari hiruk pikuk dunia modern, menghadirkan suasana yang tenang dan damai.
Karenanya dari tempoe doeleo hingga kini, wilayah tersebut tak pernah sepi dari pengunjung. Baik wisatawan lokal maupun mancanegara, dengan ragam tujuan – dari mulai sekedar jalan-jalan hingga penelitian.
Seperti yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Primagraha (UP) beberapa waktu lalu. Tantangan untuk berjalan kaki, ternyata sudah datang sebelum tiba di lokasi. Karena, rombongan kami terpaksa harus berjalan kaki beberapa. Karena jalan sedang ada betonisasi, sehingga bus dikosongkan kemudia jalan merayap slow down.
Seperti biasa, kami harus mengikuti aturan maen masyarakat setempat. Semacam SOP (Standar Operasional) istilah nya mah.
Tim berkumpul dan diterima oleh satu ketua pemangku adat, Kang jamal namanya didampingi salah salah satu warga Kang Fardi namanya. Menurut informasi Kang Pardi, membuka pembicaraanya dengan meyakinkan kepada kami, bahwa wilayahnya hingga kini masih utuh, baik alam maupun adat budayanya.
“Dimana Bumi di pijak, disitu langit di junjung, artinya hargai alam yang ada dengan aturan aturan adat yang asli. Itulah simbol Suku Baduy”, kata Kang Pardi. Suku Baduy masih sangat fanatik dan memegang teguh adat kearifan lokal. Sehingga terjaga sampai sekarang.
Keaslian tersebut, menjadi dasar utama Baduy hingga kini menjadi obyek wisata alam, dan budaya, adat istiadat serta kearipan lokal. Oleh karenya Baduy, masih menjadi salah satu pilihan untuk dijadikan tempat penelitian.
Menurut informasi kang Pardi salah seorang warga. Keseharian penduduk Baduy bertani, berkebun, menyadap nira yg akan diolah menjadi gula aren. Gula aren Baduy penghasil Aren terbagus.
Produk klasik kaum perempuannya telah turun temurun sejak nenek moyang, kain tenun khas Banduy. Kain tenun tersebut, kemudian dibuat berbagai kreasi seperti, baju adat,tas, selendang sebagai buah tangan atau oleh oleh. Berbagai asesoris juga dibuat dari bahan-bahan alam seperti tas kaneron dll. Tak ketinggalam berbagai varian makanan dan minuman, bisa dinikmati pengunjung atau dijadikan sebagai ole-ole.
Ngawangkong dengan gadis-gadis Baduy, cantik-cantik dengan pakean khas dominasi warna hitam dan biru. Nuansa magis dan klasik
Bagaimana dengan pendidikan, terutama anak-anak. Diselenggarakan secara infor, interen masing-masing keluarga. Sehingga anak tidak ada yang sekolah di luar. Setiap hari anak usia sekolah hanya membantu orang tuanya ke kebun, berdagang dan bermain. Jadi proses pendidikan berlangsung sepanjang hayat, dengan prinsip kuat mengakar pada keluarga masing-masing.
Persoalan kesehatan berada dalam tanggung jawab pemangku adat, seperti pengobatan warga yang sakit, melahirkan dan lain-lain dan cukup diobati oleh dukun. Tentu dengan cara mereka sendiri, dengan berbasis keyakinan kearipan lokal dan alam.
Keturunan Baduy hanya boleh menikah dengan satu suku, apabila melanggar maka akan keluarkan dari adat.
Salah satu aspek budaya sangat kuat, kebersamaan dan gotong royong. Mereka implementasikan dalam hidup dan kehidupan sehari-hari, mulai dari mengerjakan pekerjaan keseharianatau saat saat tertentu. Sampai bentuk rumahpun arsiteknya sama. Rumah panggung terbuat dari kayu dan bambu menggunakan potensi alam yang ada. Serta tidak merubah kontur tanah. Kontruksi rumah yang mengikuti bentuk alam, sehingga alam Baduy hingga kini tetap lestari dan terpelihara dengan baik.
Warga baduy salah satunya memegang teguh adat untuk mempertahankan alam, agar tetap lestari dan memberikan manfaat secara berkesinambungan. Filosofinya, “Panjang ulah dipotong, pondok ulah disambung”. Artinya biarlah alam apa adanya dengan caranya memelihara ekosistem.
Keindahan alam dengan pemandangan asri, sungai dihiasi bebatuan yang dialiri air yang jernih mengalir dari hulu ke muara merupakan pesona yang tiada tanding.
Ada satu jembatan fenomenal, masyarakat menyebutnya , “Jembatan Cinta”. Jembatan gantung terbuat dari bambu menghubungkan kampung Gajebo dan Cicakap, sebagai penghubung aktivitas masyarakat.
Konsep ketuhanan atau kepercayaan, Sunda Wiwitan Suku Baduy serta sistem keagamaannya sangat jelas, mereka percaya dan meyakini kepada satu Tuhan “Gusti nu Maha Suci Allah nu Maha Kuasa” dan mereka meyakini sebagai umat Nabi Adam serta mengakui Nabi Muhammad sebagai saudara muda dari Nabi Adam.
Keyakinannya menganut Sunda Wiwitan. Tidak ada nya kegiatan ibadah, dengan cri khas pakeannya hitam dan biru.
Editor : Cakra Banten
Posting Komentar