GURU MUMUN



Oleh : Ade Sujana
(Guru & Penggiat Literasi) 


Jari jemari  seakan menari di atas tombol-tombol keyboard laptop. Hasil Ulangan tadi pagi, satu persatu  nilainya dimasukkan ke daftar nilai. Hanya sendiri Bu Mumun berada di Ruang guru, sementara guru yang lainnya di kelas. Setumpuk buku tugas siswa tampak hampir memenuhi mejanya. Tiba-tiba jemarinya yang lentik diam, ketika mata tertuju ke sederetan daftar nama siswa kelas delapan G. Tatapan matanya diam tertuju ke satu nama.

“Aku malas, menghadapi hari esok. Malas masuk ke Kelas itu.  Kelakuan  si Gungun muridku itu yang membuatku malas, kadang-kadang konsentrasiku dalam pembelajaran terganggu olehnya. Tangannya yang tak bisa diam, meja dianggapnya sebuah tamtam, bertalu-talu. Tidak hanya itu, temannya yang belajar selalu diganggunya. Memang tak bisa kubiarkan itu, aku harus bisa merubah kenakalannya. Mulanya aku menganggap itu suatu hal yang wajar, namanya juga anak-anak  baru  duduk di bangku SMP, sifat kekanak-kanakannya masih melekat. Seperti guru yang lainnya,beberapa teguran yang tentu sifatnya mendidik sudah kulakukan namun sampai kini tak juga berubah. Gungun di Kelasnya selalu saja membuat ulah. Tugas-tugas sering dia tak mengerjakannya. Aku jadi teringat pula pada kejadian minggu kemarin,  sebagian siswa perempuan sekelasnya akhir-akhir ini sering mengadu, tak nyaman berada di kelas  karena ulahnya yang membuat kegaduhan.  Aku harus dapat merubah keadaan di kelas tersebut, agar nyaman. Aku harus mampu menggiring  kelakuan murid-murid ku ke arah positif termasuk Si Gungun. Aku sadar tugasku  bukan hanya mengajar, namun selebihnya adalah mendidik, harus menciptakan generasi penerus yang baik.”


Lamunan Bu Mumun terhentak, ketika Bu  Maya yang masuk ke ruang guru dan menyapa. 

“ Eh, dikira teh  sudah pulang ! Rajin bener, bu  Mumun ! 

“ Ini tanggung Bu, menyalin nilai ulangan anak-anak” jawab bu Mumun, tatapan matanya tertuju ke bu Maya.

“Eh Bu, tadi masuk kelas delapan G, Gungun sekolah  gak ?” Tanya bu Mumun.

“Ada. Hanya biasa saja dia mah belum ada perubahan, bukannya diskusi eh malah mengganggu teman kelompoknya. Ditegur baru diam sejenak, eh gak lama kemudian mengganggu lagi. Dasar  Oces ! Ya sudah, saya gak mau ambil pusing sama dia, udah saja suruh keluar menunggu di depan pintu kelas” Jawab Bu Maya sambil  memakai jaketnya,  bergegas mau pulang.

“ Oh, begitu ya bu?” Jawab Bu Mumun tak setuju atas perlakuan Bu Maya. 

“Mungkin juga Bu Maya  sudah kelewatan  jengkel,”  kata hatinya.

“Bu Mun, saya pulang duluan “

“Ya Bu, hati-hati di jalan”. Jawab Bu Mumun.


Suatu hari, pagi cukup cerah. Jam ketiga Bu Mumun masuk kelas delapan G. Anak-anak serempak memberi salam, dan seperti biasanya mereka bersiap-siap untuk mengikuti kegiatan pembelajaran, sementara Si Gungun malah  bercanda dengan teman sebangkunya. 


“Selamat pagi anak-anak, terima kasih kalian masih semangat untuk belajar, “    Bu Mumun berjalan pelan ke tengah-tengah kelas, dan saat ini berada di sekitar  muridnya. Tatapan matanya berkeliling pada masing-masing siswa dan tiba ke arah Gugun yang bercanda dengan teman sebangkunya seolah tak menghiraukan ucapan gurunya. Tatapan matanya, seakan bicara memerintahkan kepada murid-muridnya untuk bersiap-siap untuk belajar.


“Gun sudah ngobrolnya?  Koq orang lain menyiapkan untuk belajar, kamu malah bercanda saja. Mau belajar gak ?”, tanya Bu Mumun sedikit kesal.

“ Mau Bu.” Jawab Gugun pendek.

“Mana bukunya ?” Bu Mumun mendekati Gungun

“ Ketinggalan Bu ”

“Ketinggalan ?   Ah kamu mah Gun,  kan tahu hari ini ada pelajaran Matematika. Bukunya gak dibawa lagi !” Tatapan mata bu Mumun tertuju ke Gungun.

“ PR nya sudah dikerjakan ? “

“Sudah bu, tapi......”

“Tapi apa ?”

“Bukunya gak dibawa”

“Gungun...Gungun, Gimana atuh kamu teh! Kamu lagi Rudi !” kata Bu Mumun, ke Rudi teman sebangkunya.”

“Maaf bu, kalau saya siap belajar, PR pun sudah dikerjakan,” Jawab Rudi, dirinya tak ingin disamakan dengan Gungun.

 “Gungun...Gungun, gimana atuh kamu teh, mau belajar gimana? Buku gak dibawa. PR  gak dikerjakan”  


Bu Mumun hanya bisa menarik napas, hatinya penuh tanda tanya ada apa dengan anak ini, mengapa akhir-akhir ini jadi berubah kelakuannya.


 “Oke, mari kita belajar !” Bu Mumun  sejenak melupakan anak yang satu ini.


Namanya Gungun, lengkapnya Gungun Givaldy, nama yang cukup keren. Ketika di kelas tujuh dia termasuk anak yang berprestasi dalam bidang akademik di sekolahnya, bahkan masuk  sepuluh besar dalam prestasinya akademik di kelasnya. Perilaku dan sikapnya pun baik pula.


Bukan hanya disenangi oleh teman-temannya, gurupun banyak yang menyenanginya.  Namun sekarang semenjak beberapa bulan duduk di kelas delapan, entah apa yang mempengaruhi pikirannya, selain  prestasinya yang menurun sikap dan perilakunya sungguh diluar dugaan, hampir berubah seratus delapan puluh derajat, di kelasnya Gungun  yang menjadi biang keladi  kegaduhan, banyak teman-temannya terganggu oleh nya.


Sudah tiga hari berturut-turut, Gungun tidak sekolah, tanpa  ada pemberitahuan ke sekolah. Bu Mirna wali kelasnya tak tinggal diam, mencari informasi tentang Gungun kepada teman-teman sekelasnya. 


“Anak-anak, Sudah tiga hari Gungun tidak sekolah. Barangkali di antara kalian ada yang tahu kemana Gungun? Mengapa dia tidak sekolah?” Tanya Bu Mirna di depan murid-muridnya.

“Bu, kalau kemarin saya lihat Gungun berdua sama Rizki kelas sembilan lagi duduk-duduk di Taman kota,”  Fadli menjawab pertanyaan Ibu Wali kelasnya.

“ Oh begitu ya. Jam berapa? Pakai seragam gak ?”  Beberapa pertanyaan bertubi-tubi, Bu Mirna ingin segera mengetahui keberadaan Gungun muridnya itu.

“Ya Bu, dia pakai seragam sekolah,  sekitar jam setengah tujuh.”

“Ditanya sama kamu ?”

“Nggak Bu, soalnya saya lagi di motor, sama ayah.”

Bu Mirna semakin penasaran ingin segera mengetahui keberadaan Gungun.  
“Benar bu, saya pun kemarin melihat  dia di Taman kota, “ Budi membenarkan apa yang dikatakan  oleh Fadli.

”Diantara kalian , siapa lagi yang pernah bertemu dengan Gungun?”

“Tidak Bu,” jawaban yang serempak dari murid-muridnya.”

“Deni,  biasanya Gugun kan pergi  sama kamu? “ Tanya Bu Mirna, ke Deni.

“Iya Bu, tapi sudah tiga hari ini, saya gak lihat dia.”

“Ya udah kalau begitu, nanti setelah pulang sekolah, ibu mau ke rumahnya, mau Home Visit. Tapi ibu gak tahu rumahnya, minta dari kalian perwakilan, tiga orang saja yang mengantar ibu.

“ Saya tahu Bu rumahnya ! Kata Erwin.

“Ya udah,  kamu ikut saja Erwin, kebetulan  kan kamu KM. ! Dua orang lagi siswa putri, udah saja Rika dan Erina.  


Beberapa hari Gungun tidak sekolah, Kini Gungun,  kembali ke Sekolah. Bel terakhir berbunyi tiga kali, tak lama kemudian terlihat para siswa keluar dari kelasnya masing-masing, serambi sekolah yang tadi lengang, kini dipenuhi siswa berjalan menuju pintu gerbang sekolah dengan obrolan masing-masing usai mereka belajar. Di antara mereka  terlihat Pak Doni bejalan menuju ruang guru diikuti Gungun yang berada di belakangnya.


Suasana di ruang guru pun sekarang  terasa hangat, beragam perbincangan terjadi diantara mereka, namun  ada  pula yang tergesa-gesa pulang, mungkin ada keperluan lainnya. 


“Duduk disana, Gun !” Kata Pak Doni, menunjuk ke sebuah kursi panjang yang ada di ruang guru. Gungun duduk menuruti  apa yang diperintahkannya.

“Kenapa Gungun, Pak?” tanya Bu Mumun.

“Heureuy bae budak teh,” jawab Pak Doni menghampiri Gungun, dan duduk di sampingnya. 

“Kenapa kamu teh, Gun, kan bapak lagi menerangkan, koq kamu nyeletuk saja. Terus bapak tahu,yang tadi melempar kertas itu kamu kan ?” tanya Pak Doni.

Gungun hanya diam.

“Jawab bukan diam. Bisa Ngomong nggak?” Pak Dodi kelihatan sedikit marah.

“Ya saya Pak. Saya minta maaf “, Jawab Gungun, nada suaranya pelan.

“Kenapa kau lakukan itu ?” 

“Maaf Pak”

“Bapak tak perlu maaf dari kamu, tapi yang bapak perlukan, kamu dapat merubah sikapmu yang jelek itu. Ngerti ?” Gungun mengangguk.

“Janji yah, ada kabar kamu nakal lagi... awas!”

“Ya udah. Sok pulang, jangan kemana-mana lagi, langsung ke rumah.” Perintah Pak Doni kepada Gungun. 

Gungun pun menyalami Pak Doni kemudian mencium tangannya dan keluar meninggalkan Ruang guru. 

“Ada apa lagi dengan Gungun itu ?” Bu Mumun penasaran.

“Ah eta mah, lagi enak-enaknya diskusi dengan anak-anak, eh kertas di lempar-lempar. Ngomong yang tak karuan lagi. ” jawab Pak Dodi.

“Aku harus dapat merubah sikap Gungun, dengan caraku sendiri bagaimana pun juga pasti ada yang tidak beres dengan Gungun, waktu di kelas tujuh, dia anak yang baik, anak pintar, kenapa sekarang tiba-tiba di kelas delapan prestasinya menurun, sikapnya bertolak belakang.”  Kata hati Bu Mumun.


Suatu hari, Bu Mirna dengan tiga orang muridnya tiba di rumah Gungun. Namun sayang kedua orang tuanya tidak ada, mereka belum pulang dari pekerjaannya. Bi Warsih Seorang pembantu, yang menerima Bu Mirna dengan tiga orang muridnya.


“Begini Bi, sebelumnya perkenalkan saya gurunya Gungun sekaligus wali kelasnya, dan ini teman-teman sekelas Gungun.” Bu Mirna mengawali pembicaran.

“Oh iya Neng  Guru, ada apa dengan Gungun ?  Bi warsih kelihatan cemas.

“Gak usah cemas, Bi. Gak ada apa-apa koq. “ Bu Mirna menenangkan hati Bi Warsih.

“Bibi mah sok rareuwas, Neng guru. Kedatangan Neng Guru teh ?.”

“Biasanya Bapak dan Ibunya Gungun pulangnya jam berapa Bi ?”

“Setiap hari juga pulangnya malam,   Neng Guru.” 

“Oh gitu ya Bi.”

“Iya Neng Guru. Kalau ada pesan untuk bapak dan ibu, nanti sama Bibi disampaikan. Sok atuh diminum airnya Neng Guru, silahkan Asep, Eneng,” Kata Bi Warsih, sambil membuka tutup kue yang telah tersedia di ruang tamu.

“Ditampi atuh Bi. Ngarepotkeun ,” jawab Bu Mirna, mengambil air minum, diikuti oleh murid-muridnya itu.

“Ah ngarepotkeun naon atuh neng, silahkan...silahkan ” 

Setelah menikmati minuman, pembicaraan pun berlanjut.


“Begini Bi, maksud kedatangan saya ke sini. Sudah tiga hari Gungun gak ke Sekolah, apa dia sakit?  Takutnya kalau dari rumah berangkat ke sekolah, tapi di sekolah ga ada Bi,...”

“Gak sekolah ? Masa ah neng guru mah. Setiap hari juga dia pergi ke sekolah, malahan mah tadi pagi teh, minta diantar  ke Si Emang tukang kebun.”  Bi Warsih memotong pembicaraan Bu Mirna.

“Iya udah tiga hari Gungun gak masuk Bi,” Erwin temannya ikut berbicara.

“Mang...Mang Kurdi kadieu  Mang!” Bi Warsih memanggil Mang Kurdi yang tidak jauh dari Bi Warsih.

“Aya naon Bi ?”

“Ieu kadieu, ada gurunya Gungun. Katanya sudah tiga hari gak sekolah,” 

Mang Kurdi menghampiri ruang tamu, dan menyalami tamu-tamunya.

“Gungun sudah tiga hari sekolah?”
Bi Warsih mengulang pembicaraannya lagi.

“Gak sekolah tiga hari, kan tadi juga diantar sama Emang, na kamana atuh Gungun teh ngaleokna nya budak teh,  kalau tidak ada di sekolah mah ?”

“Sayang ya Mang, Bapak dan Ibunya belum pulang, “ kata  Bu Mirna.

“Iya Bu Guru,  kumaha atuh Neng Guru?”
kata Bi Warsih, dengan nada bingung.

“Gak apa-apa Bi, lain kali saya datang lagi ke sini. Ya,  tadinya ingin ngobrol sama bapak dan ibunya Gungun. Salam saja sama Mama dan Ayahnya Gugun.

“Ya neng, nanti kalau pulang dibilangin sama Bibi.”

“Hatur nuhun Bi.”

Akhirnya Bu Mirna dan ketiga orang muridnya, pamitan untuk pulang.


Bel terahir sudah berbunyi. Jam pelajaran sudah selesai. Sebelum pulang seperti biasanya mereka berdoa terlebih duhulu. Anak-anak keluar dengan tertib.

Sementara Bu Mumun menunggu anak-anak semua keluar, Gungun melewati meja Guru, terhenti sejenak. 

“Tunggu Gun,” kata Bu Mumun.

“A...a da apa Bu ?” Gungun kaget.

“Ini Ibu minta tolong, bawa buku ke Ruang guru, dan simpan di   meja Ibu yah,”

“Oh iya Bu,” Jawab Gungun mengambil buku tugas siswa dan membawanya ke ruang guru. Bu Mumun berdiri dan berjalan mengikuti Gungun. Buku di simpan di meja.

“Mari  Bu,” tangannya mau menyalami ibu Mumun

“Tunggu Gun, jangan dulu pulang,ada yang ingin ibu sampaikan kepada mu.”

“Ya Bu,” jawab Gungun, dalam hatinya  penuh tanda tanya.

” Mau apa Bu Mumun kepada saya ? Bisa jadi Bu Mumun tahu, saya tidak mengumpulkan buku tugas. Gawat !” begitu kata hati Gungun saat itu.
Hari itu, pembelajaran telah usai. Suasana di ruang guru pun menjadi hangat, bagaimana tidak mereka satu persatu berdatangan  memasuki ruang guru. Ada yang santai duduk beristirahat sejenak  dengan segala perbincangannya,  ada  yang membuka laptopnya, ada pula yang langsung pulang. Kini suasana guru tak sehangat seperti tadi,  Hanya beberapa orang guru yang masih berada di ruang guru.


“Gun duduk tuh di kursi depan,” Bu Mumun menunjuk ke kursi panjang yang berada di  ruang guru. Gungun pun menurutinya. Bu Mumun pun menghampiri dan duduk di kursi yang sama.

“Begini Gun, semenjak Gungun kelas delapan, prestasi belajar kamu menurun, sikapmu berubah lagi, tidak seperti di kelas tujuh prestasimu cemerlang, kamu ranking dua kan? sikapmu baik. Koq kenapa akhir-akhir ini jadi begini, pelajaran Matematika saja menurun. Pelajaran yang lainpun, ibu dengar begitu.  Ibu tahu pasti ada penyebabnya.  Iya kan ?” Bu Mumun mengawali pembicaraan dengan nada lembut dan penuh kasih sayang,

sementara Gungun tertunduk diam, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
“Nah sekarang  terus terang saja ke ibu. Apa sebenarnya  yang telah terjadi dengan mu nak?  Ibu merasa hawatir kalau terus begini, bagaimana dengan   masa depanmu nanti?.” Gungun masih tertunduk diam.


“Silahkan cerita ke ibu, ibu yakin pada diri kamu ada sesuatu.” Ya kan ? ” Gungun mengangguk.  Bu Mumun  menarik napas, mengangguk-anggukan kepalanya, apa yang dia inginkan keterusterangan  dari Gungun mulai  ada celah untuk terbuka.


“Ya, tenang  saja Gun, gak usah malu, gak usah takut, justru ibu ingin menolong kamu. Sok sekarang mah  curhat ke Ibu.”
“Mama dan Ayahku, bu.” Jawab Gungun pelan.

“Kenapa dengan mama dan ayah mu? Bu Mumun menyela pembicaraan Gungun.

“ Mama dan Ayahku, hanya mementingkan dirinya sendiri, sekarang tak hiraukan aku lagi.

"Aku gak bisa  ngobrol dengan mereka, tidak ada komunikasi sama mamah dan ayah, setiap hari pulangnya selalu malam, sibuk dengan pekerjaannya.”

“Mama kamu pun kerja ?”

“Iya Bu, Mama dan ayahku  selalu pulang malam setiap harinya, kalau sudah malam saya kan udah tidur Bu. Tidak seperti dulu lagi Bu, Mama, ayah selalu menanyakan tentang sekolahku,  selalu peduli,menyuruh belajar, sampai mengerjakan PR pun mereka selalu mengingatkan. Senang bu, mendapat perhatian mereka. Sekarang , semua itu tak ada lagi bu. Hanya pagi-pagi bisa bertemu, itu pun hanya sebentar. Mama dan ayah, hanya sibuk dan sibuk melulu dengan pekerjaannya. 

Aku tak menginginkan suasana begitu Bu” Gungun menceritakan isi hatinya,  matanya berkaca-kaca. Mama dan Ayahku sekarang, bukan yang dulu lagi.

“Oh begitu. Sekarang ibu mengerti, ibu faham. Jadi selama ini, itu mengganggumu ?” 

“ Ya bu.” Gungun mengangukkan kepalanya tanda setuju.

“Bagaimana pun juga, aku harus menemui orang tua Gugun. ” Kata hati Bu Mumun.


Perjuangan Bu Mumun selama ini, meluluhkan hati Gungun kini sudah terjawab, namun itu tidak akan bisa merubah sikap Gungun. Selangkah lagi Bu Mumun harus menemui orang tuanya, untuk menyampaikan apa yang telah terjadi pada Gungun selama ini.


Bu Mumun memutuskan pada hari minggu pergi menemui orang tua Gungun dengan Bu Mirna wali kelasnya. Sengaja datang ke rumahnya karena sudah lama Bu Mumun tidak bertemu dengan Sinta  mamanya Gungun. Sinta adalah  sahabat Bu Mumun ketika di SMA. Ketika sampai di rumah Sinta, sayang Bu Mumun  tak bisa bertemu dengan kedua orang tua Gungun, mereka sudah tiga hari berada di Luar Kota. 


Kedua orang tua  Gungun sengaja datang ke Sekolahnya Gungun untuk menemui Bu Mirna dan Bu Mumun. Pada kesempatan itu pula Bu Mirna,  Bu Mumun serta kedua orang tua Gungun memperbincangkan tentang  Gungun.  Antara Gungun dulu dengan Gungun sekarang jauh berbeda. Bentuk protes dari Gungun, yang  terlihat dari sikap dan kelakuannya. Kedua orang tuanya menyadari semua itu.  


“Terima  kasih Bu Mirna. Terima kasih Bu Mumun. Sekarang sudah jelas permasalahannya, saya dan suami mulai saat ini  akan mengatur waktu demi Gungun anak saya, bisa berubah baik. Kami menyadari, akhir-akhir ini kurang perhatian terhadap anak saya. Kami sadar keegoisan selama ini terhadap anak saya, ” Kata Sinta menyadarinya.


“Iya bu, terima kasih atas perhatian pihak sekolah, kepada anak kami ini. Terima kasih Bu Mirna, terima kasih Bu Mumun. Gungun sudah merepotkan semuanya, maafkanlah anak saya bu,”  Suami Sinta menyesalkan, kenapa hanya pekerjaan dan pekerjaan yang dipikirkan, tanpa memikirkan akeadaan anaknya.
“Maafkan bapak, nak, “ begitu kata hatinya.


Harapan Bu Mumun  kini telah menjadi sebuah kenyataan yaitu Gungun kembali menjadi anak yang baik, demikian pula kedua orang tuanya kini merasa berbahagia dan bangga, termasuk Bu Mirna wali kelasnya.


Hari Minggu yang cerah. Semua anggota keluarga berkumpul, keceriaan menemani mereka.

“Karena nilai kamu bagus, karena kamu anak yang baik ! Nih Gitar baru, hadiah untuk kamu Gun !” Gungun senang menerima hadiah dari bapaknya,  tersenyum dan hatinya bernyanyi-nyanyi.


“ Terima kasih, Ayah. Terima kasih Mama.
“Maafkan Ayah nak, maafkan Mama nak”
“Hadiah untuk Bibi mana Gan ?” Kata Bi Warsih, tiba-tiba Bi Warsih menghampiri dari dapur dan tersenyum. 

“Sebelum Bi Warsih ge atuh Emang heula ya Gan,” diam diam Mang Kurdi pun menghampiri.



Bojongkunci, 06 Desember 2023


Editor : Redaksi Cakra Banten 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama