Masihkah Puisi Diperlukan Dalam Kehidupan Sekarang dan Yang Akan Datang ?


Oleh : Teteng Jumara (Pengasuh Saung Sastra) Pakuhaji Tangerang


CAKRA Banten,- Di era kehidupan yang terus mengarah ke pragmatism dan hedonism, masihkan karya sastra dibutuhkan oleh kita ? Puisi misalnya. Tempoe doeloe, terutama di jaman pergerakan dan perjuangan kemerdekaan.


Rangkaian kata-kata bertuah dalam bentuk puisi, bisa menggetarkan jiwa dan membakar semangat. Hingga berujung pada pergerakan kemerdekaan. 
Begitu juga saat-saat rezim orde baru berkuasa, banyak karya-karya pro demokrasi mampu menginspirasi hingga terjadi reformasi di negeri ini ? 


Berikut ini pengasuh Saung Sastra Tangerang, Teteng Jumara mencoba memberikan pandangan tentang salah satu karya sastra. PUISI !

Oleh : Teteng Jumara
Penyair dan penulis Rusia, Boris Leonidovich Pasternak yang terkenal di dunia Barat karena novel epiknya : Dr. Zhivago, sebuah tragedi yang peristiwanya di seputar masa terakhir Kekaisaran Rusia dan hari-hari awal Uni Soviet, mengatakan, bahwa puisi adalah pergulatan dua burung malam/puisi adalah gemeretak gunung salju beku/puisi adalah siul melengking tajam/ puisi adalah  apa yang ditulis oleh seorang penyair. 


Demikian metafora tentang puisi menurut penulis Rusia. Puisi bukan hanya sebatas rangkaian kata-kata indah yang melankolis mendayu-dayu, atau kata–kata cengeng yang digunakan seorang pemuda untuk merayu buah hatinya atau mungkin juga rayuan gombal seorang lelaki penggoda perempuan di jalanan. 


Puisi memiliki makna tersendiri, seperti diungkapkan penyair terkenal Sutardji Calzoum Bachri dalam kata pengantar buku puisinya, O Amuk Kapak (2002) yang ia sebut kredo puisi, “Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata”.  


Saung Sastra Pakuhaji Tangerang Banten, tempat niis / para penulis


Lebih lanjut, Sutardji menulis, kata-kata bukanlah alat untuk mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Dia bebas. Kata-kata saya biarkan bebas dalam gairahnya, karena sudah menemukan kebebasan. Kata-kata meloncat-loncat  dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri. Mondar mandir dan berkali-kali menunjukkan muka belakangnya yang mungkin sama atau tak sama. Membelah dirinya dengan bebas. Menyatukan dirinya dengan yang lain untuk memperkuat dirinya. Membalik atau menyungsangkan dirinya dengan bebas. Saling bertentangan dirinya satu dengan yang lainnya, karena mereka bebas berbuat semaunya. Bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.


Menulis puisi juga ternyata dapat mendorong orang menjadi kreatif, kaya akan gagasan, penuh dengan terobosan-terobosan yang tidak terduga. Menulis puisi juga membuat orang memiliki daya juang tinggi. Dalam pengertian tidak mudah menyerah terhadap tantangan serta memiliki semangat setegar karang di lautan.


Masihkah Puisi Diperlukan ?


Pertanyaan ini cukup menggoda, ditengah hiruk pikuk dunia yang serba materialistis dan oportunistis, seperti diungkapkan penyair Radhar Panca Dahana dalam pengantar buku puisinya, Lalu Batu. Untuk apa puisi masih dikumpulkan ? Buat apa kumpulan puisi masih harus diterbitkan ? Ketika dunia sudah demikian cerewetnya dan kata-kata telah menjadi laut yang justru kering akan makna. Ketika hidup sudah demikian hiper pragmatis, serba oportunitis, materialistis, dan berpikiran pendek ini sungguh telah menyudutkan ruang-ruang dimana kita dapat berkontemplasi atau meraih tingkat-tingkat meditasi. Dimana lagi tempat untuk puisi ? Puisi tinggal berlari-lari. Mencari posisi, mencari makna kata-katanya sendiri, yang luput, yang melarikan diri. Lalu sebagian terjerembab, keok, kelelahan, atau terjerat perangkap retorika atau propaganda. Tinggal sebersit harapan, waktu akan memprosesnya, menyimpan sambil mendewasakannya seiring zaman yang semakin matang nanah lukanya. Hingga puisi membeku, memadat makna, menjadi saksi yang keras. Seperti batu.


Menulis puisi adalah pekerjaan hati, menumpahkan perasaan dan angan-angan yang tersimpan dalam  relung hatinya. Menulis puisi adalah sebuah kesenangan dan sekaligus kebahagiaan, karena kita bisa menumpahkan apa yang kita lihat, kita rasakan dan mungkin bagian dari pengalaman hidup kita sehari-hari yang bisa saja pengalaman hidup yang menyenangkan atau sebaliknya pengalaman hidup yang tidak menyenangkan. Dengan menulis puisi, kita bisa menumpahkan semua perasaan kita, sehingga menjadi semacam therapy jiwa untuk membebaskan kita dari tekanan-tekanan batin yang membelenggu atau juga jadi semacam tamasya yang menyenangkan dan penuh kejutan.

Bermain-main dengan kata-kata indah yang dirangkai sekehendak kita. Menulis puisi merupakan pekerjaan yang menyenangkan dan penuh kejutan, karena kita bermain-main dengan diksi, imaji, metaphora, kata konkret, majas, irama.
Sebuah puisi karya , SAPARDI DJOKO DAMONO :

AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana / dengan kata-kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu / aku ingin mencintaimu dengan sederhana / dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.


Selain kata-kata indah nan menyenangkan dalam membuat puisi, ternyata bahwa puisi juga bisa menyampaikan pesan yang kuat tentang situasi social, ekonomi, politik, budaya, pendidikan kepada khalayak dan juga mungkin sampai kepada para penguasa pengambil kebijakan. Dengan kata lain puisi juga bisa dijadikan sebagai alat kritik social terhadap para penguasa dan pengambil kebijakan. 


Up date Saung Sastra Pakuhaji Tangerang Banten, jauh dari keramaian di tengah pesawahan


Banyak contoh untuk hal ini, seperti yang dilakukan oleh penyair WS. RENDRA yang dengan gencarnya mengkritik pemerintah orde baru pada waktu itu, sehingga seringkali mendapat ancaman dari pemerintah yang berkuasa, atau sosok penyair yang lain : WIJI THUKUL, dengan judul buku puisinya, AKU INGIN JADI PELURU. Sehingga karena puisi-puisinya ia hilang tidak jelas rimbanya, menjadi korban rezim penguasa yang merasa terusik dengan karya-karyanya. Puisi ternyata tidak hanya sebatas kata-kata halus mendayu-dayu, akan tetapi bisa berubah menjadi sebuah gelombang  samudra yang bisa memporakporandakan sebuah kehidupan atau menghancurkan sebuah tirani kekuasaan yang rakus dan kejam penindas rakyat jelata miskin dan papa. Puisi bisa berubah menjadi sebuah kekuatan yang membela kebenaran, menegakkan keadilan dan membela mereka masyarakat kecil yang terpinggirkan. Puisi akan selalu berpihak pada mereka yang lemah dan tidak berdaya. 


Di bawah ini, sebuah puisi karya WIJI THUKUL :

AKU MASIH UTUH DAN KATA-KATA BELUM BINASA


aku bukan artis pembuat berita / tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa / puisiku bukan puisi / tapi kata-kata gelap yang berkeringat dan berdesakkan mencari jalan / ia tak mati-mati /meski bola mataku diganti / ia tak mati-mati meski bercerai dengan rumah / di tusuk sepi / ia tak mati-mati / telah kubayar yang dia minta umur-tenaga-luka / kata-kata itu selalu menagih padaku / ia selalu berkata padaku / kau masih hidup / kau memang masih utuh / dan kata-kata belum binasa.


Puisi di atas, adalah sebuah bentuk puisi perlawanan terhadap penguasa tatkala itu, yang dianggapnya otoriter dan menindas serta sangat tidak berpihak kepada masyarakat kecil. Ada masalah tata kelola negara dan ketimpangan social  yang dikoreksi oleh WIJI THUKUL melalui  puisi- puisinya tersebut.


Dengan paparan di atas, menulis puisi itu bisa sangat banyak bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan secara social dan kemasyarakatan serta kehidupan bernegara. Dengan menulis puisi , kita bisa menyampaikan banyak hal tentang realitas kehidupan di sekeliling kita, sekaligus pesan terselubung kepada khalayak dan penguasa untuk  kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat bagi umat manusia.
Sebagai penutup tulisan ini, mari kita camkan kembali kata-kata bijak penyair  Rusia, Boris L. Pasternak :


Puisi  adalah pergulatan dua burung malam / puisi adalah gemeretak gunung salju beku / puisi adalah siul melengking tajam / puisi adalah  apa yang ditulis oleh seorang peyair.


Editor : Cakra Banten

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama