Oleh : Tetep Bimbing Gunadi
(Praktisi Pendidik & Kependidikan)
cakrabanten.co id,- Dalam beberapa aspek kita, yang mungkin merasa termasuk masyarakat modern mengatakan Suku Baduy, “masih terbelakang”. Kata yang tepat barangkali, “Suku Baduy berhasil mempertahankan kearipan lokal”.
Dalam kontek tersebut, barangkali kita yang harus belajar pada Suku Baduy, bagaimana mereka mampu mempertahankan berbagai kearipan lokal yang mempunyai nilai-nilai moral, kemanusiaan, penghargaan terhadap alam yang luar biasa bijaksananya.
Pengalaman dan pemahaman seorang Tetep Bibing Gunadi - praktisi pendidikan & kependidikan, semoga bisa menambah wawasan kita soal kearipan lokal. Walaupun tulisan soal Baduy tentunya sudah sangat banyak dari jaman ke jaman. Tak ada salahnya kita simak tulisan ini ! (Redaksi)
Bismillahirrahmanirrahim, Sebagai guru yang pernah belajar pada prodi sejarah pada jenjang strata satu kali ini ingin menulis tentang suku baduy, bahannya dihimpun dari bebera sumber tetapi tidak begitu rinci hanya saja garis besarnya. Tujuannya hanya memberi gambaran atau keterangan kepada anak didik kami di lingkungan sendiri khususnya di SMK Islam Insan Mulia Pagedangan.
Suku Baduy adalah masyarakat adat yang hidup di pedalaman Banten, Jawa Barat. Populasi suku Baduy diperkirakan sekitar 26.000 orang, termasuk sekelompok masyarakat yang sangat tertutup dari dunia luar. Masyarakat suku Baduy termasuk dalam sub-suku Sunda, yang belum terpengaruh modernisasi dan masih memiliki tradisi serta adat khas yang hampir sepenuhnya terasing dari dunia luar. Menurut penelitian, agama yang dianut oleh suku Baduy adalah Sunda Wiwitan, merupakan sinkretisme antara Islam dan Hindu.
Terdapat beberapa versi terkait asal-usul suku Baduy, tetapi yang paling terkenal adalah mereka merupakan keturunan dari Kerajaan Pajajaran. Pada zaman dulu, warga Kerajaan Pajajaran mengasingkan diri ke wilayah Pegunungan Kendeng di Banten Tengah. Awal mula pengasingan terjadi karena wilayah Banten dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, yang datang dengan misi menyebarkan ajaran Islam. Putra Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin, kemudian mendirikan Kesultanan Banten pada abad ke-16. Pada 1570, Maulana Hasanuddin digantikan oleh putranya, Maulana Yusuf atau Panembahan Yusuf sebagai raja kedua Kesultanan Banten.
Maulana Yusuf, Raja Banten yang Menaklukkan Kerajaan Pajajaran Ketika Panembahan Yusuf dari Banten mengalahkan Kerajaan Pajajaran, tidak seluruh masyarakatnya bersedia memeluk Islam. Mereka yang menolak kemudian menyingkir ke wilayah Banten Selatan dan keturunannya sekarang disebut suku Baduy.
Selama berhari-hari menghabiskan waktu di jalan, rombongan ini sampai di hulu Sungai Ciujung di jantung Pegunungan Kendeng (sekarang Panembahan Arca Domas atau Petak 13). Sedangkan menurut pengamat budaya Baduy, orang-orang suku Baduy percaya bahwa nenek moyang mereka sudah ribuan tahun tinggal di wilayah Kaolotan. Ada juga yang percaya mereka adalah keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal-usul ini juga kerap disangkutpautkan dengan kisah Nabi Adam yang dianggap sebagai nenek moyang pertama mereka.
Asal-usul nama Baduy juga memiliki beragam versi. Di kalangan masyarakat Banten, nama Baduy dipercaya berasal dari sebuah sungai di sana yang bernama Cibaduy. Lalu, ada pula yang menyebutkan bahwa kata Baduy berasal dari kata Baduyut, karena tempat tinggal mereka banyak ditumbuhi pohon Baduyut. Namun, yang paling populer adalah para penjajah Belanda yang datang ke Nusantara menganggap orang Baduy mirip dengan orang Badui dari Timur Tengah.
Sejak saat itu, mereka kerap disebut sebagai suku Baduy. Sementara orang Baduy menyebut diri mereka sebagai urang Kanekes atau orang Kanekes, sesuai dengan wilayah tempat mereka tinggal. Adat istiadat orang Baduy Suku Baduy terbagi menjadi dua bagian, suku Baduy dalam dan suku Baduy luar. Adapun perbedaannya adalah, suku Baduy dalam masih memegang teguh adat dan aturan dengan baik.
Sementara suku Baduy luar sudah terpengaruh oleh budaya luar, seperti menggunakan sabun mandi, alat elektronik, dan mengizinkan orang luar menginap. Perbedaan lain juga bisa terlihat dari pakaian mereka. Suku Baduy dalam sehari-hari menggunakan baju berwarna putih yang melambangkan kesucian. Sedangkan pakaian suku Baduy luar adalah serba hitam. Suku Baduy dalam diketahui tinggal di tiga kampung, yaitu Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo, yang dipimpin oleh ketua adat disebut Pu'un. Suku Baduy luar tinggal di 50 kampung berbeda di kawasan Pegunungan Kendeng. Mereka berbicara menggunakan bahasa Sunda dialek Baduy.
Di samping itu, suku Baduy memiliki aturan yang masih terus dipatuhi sampai saat ini, khususnya oleh suku Baduy dalam, yaitu: Tidak boleh menggunakan kendaraan sebagai transportasi, tidak boleh menggunakan alas kaki, pintu rumah harus menghadap utara atau selatan, kecuali rumah ketua adat.
Dilarang menggunakan alat elektronik, harus menggunakan pakaian serba hitam atau putih yang ditenun dan dijahit sendiri. Tidak boleh menggunakan pakaian modern seperti yang telah disebutkan di atas agama suku Baduy adalah Sunda Wiwitan, yaitu kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan leluhur yang sudah bersatu dengan alam. Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam Kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian, yang berasal dari zaman Kerajaan Sunda, berisikan ajaran keagamaan dan tuntunan moral.
Ada tiga macam alam yang dipercaya oleh suku Baduy, yaitu: Buana Nyungcung: tempat bersemayamnya Sang Hyang Kersa Buana Panca Tengah: tempat berdiam diri manusia Buana Larang: neraka biasanya, doa yang dilakukan oleh para penganut Sunda Wiwitan adalah lewat nyanyian pantun dan kidung yang disertai gerak tarian. Tradisi mereka dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi yang dikenal dengan sebutan Perayaan Seren Taun. Tempat sembahyang umat Sunda Wiwitan adalah pamunjungan atau kabuyutan, yaitu tempat punden berundak yang biasanya terletak di bukit. Referensi: Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai.
Ada 7 pepatah baduy yang paling popular tetapi yang paling popular
Lojor teu beunang dipotong
Pondok teu benang disambung
Gede teu beunang dicokot
Leutik teu beunang ditambah
Arti dari pepatah di atas Secara umum kita dapat mengartikan ini bahwa semua telah ada hukum dan aturannya, sehingga jangan pernah merubah aturan yang telah ada.
Pepatah di atas sangat menggaris bawahi itulah cara mempertahankan kemurnian dari adat istiadat kebudayaan dan linkungannya.
Konsep-konsep inilah yang menjadikan mereka mampu mempertahankan nilai kearipan lokal. Realita proses pendidikan, yang mungkin kita yang merasa modern harus belajar pada mereka. @tbg#
Posting Komentar