Kenangan Masa Kecil dan Cita-cita yang Terpendam



Oleh : H. Yuhnadi, S. Pd., M.M



Udara pagi yang sejuk menusuk kulit, menemani langkah kaki kecilku yang mengikuti ayah dan ibu menuju sawah. Cahaya obor bambu yang kami pegang menerangi jalan setapak yang kami lalui, mengantarkan kami menuju hamparan padi yang menguning. 



Usiaku baru menginjak 10 tahun saat itu, namun rasa kantuk tak mampu menahan semangatku untuk membantu orang tua. Aku terbiasa dengan rutinitas ini, menemani mereka panen padi setiap hari Rabu, pukul 11.30 siang. 



Ini adalah moment yang sangat di nanti oleh para petani. Menjemput rejeki dengan cara ini.



Dengan cekatan, tangkai padi demi tangkai padi kami potong dan kumpulkan menjadi satu ikatan. Sinar mentari yang mulai meninggi menghangatkan tubuh kami yang basah oleh keringat. Tawa dan canda gurau sesekali terdengar, mewarnai suasana panen yang penuh kekeluargaan.



"Kalau sudah lelah, pulanglah. Biar Ayah Ibu yang melanjutkan pekerjaan ini! " Ujar Ayahku.



Tapi aku tak menghiraukannya.

Aku ingin membantu ayah dan Ibuku untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Aku bertekad untuk membersamai beliau dalam berjuang untuk keluarga.



Betapapun aku ingin menjadi anak yang berbakti pada kedua orang tua.



Sekitar pukul 11 siang, kami mulai bersiap untuk pulang. Aku memikul ikatan padi yang cukup berat di pundak kecilku. Namun, kakiku terpeleset saat melewati jalan yang licin, dan aku pun jatuh ke sungai kecil di pinggir sawah. Ikatan padi yang kubawa pun ikut basah dan terurai.



Namun aku sadar, ini baru awal. Langkahku tak akan surut dari peristiwa kecil ini. 



Ayah yang melihat kejadian itu segera menolongku.



"Ya Alloh, Nak. Kamu terpeleset!" Dengan penuh kasih sayang, beliau membersihkan bajuku yang basah dan membantuku mengumpulkan kembali padi yang berserakan. 



"Tidak apa- apa, tadi aku kurang berhati- hati saja. Nanti lain kali aku lebih berhati - hati ayah" ujarku.



Peristiwa itu tak menyurutkan semangatku untuk membantu orang tua.



Justru, di balik rasa lelah dan kecewa, sebuah tekad mulai tumbuh dalam diriku. Aku ingin mengubah hidupku, dengan mempelajari banyak hal. Seperti teknologi digital. Serta mempelajari banyak hal.I Ilmu Pengetahuan dan teknologi.

***


Aku pernah membaca buku majalah.



Kisah wanita Soleha yang bernama  Chairunisa 


Di sebuah desa kecil yang jauh dari keramaian kota, tinggallah seorang gadis bernama  Chairunisa. Sejak kecil,  ia tumbuh  menjadi anak yang solehah dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Kedua tangannya selalu terbuka untuk  meringankan pekerjaan orang tuanya dengan tulus ikhlas, tanpa pamrih.



Usai sholat subuh Chairunisa bersiap  berangkat sekolah.  Selalu menyempatkan dirinya untuk membantu ibunya menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah. Ia juga selalu menyempatkan diri untuk membantu ayahnya bekerja di kebun  menyiram tanaman, dan membersihkan pekarangan rumah.



Chairunisa  tidak pernah mengeluh atau merasa lelah membantu orang tuanya. Ia melakukannya dengan penuh kasih sayang dan rasa hormat. Ia sadar bahwa orang tuanya telah bekerja keras untuk membesarkannya dan memberinya kehidupan yang layak.



Suatu hari, ayah Chairunisa jatuh sakit. Ia tidak bisa bekerja di kebun dan harus beristirahat di rumah. Chairunisa  pun semakin rajin membantu ibunya. Ia mengerjakan semua pekerjaan , memasak, mencuci piring, mencuci, menyapu dan mengurus ayahnya dengan penuh perhatian.



Chairunisa juga selalu menemani ayahnya saat ia merasa kesepian dan bosan. Ia membacakan buku untuk ayahnya, menceritakan kisah-kisah menarik, dan menghiburnya dengan berbagai permainan.



Berkat kasih sayang dan perhatian Chairunisa, ayahnya pun segera sembuh dan bisa kembali bekerja di sawah. Ayah dan ibu Chairunisa sangat bersyukur memiliki anak yang solehah dan berbakti seperti Chairunisa.



Kisah Chairunisa menjadi contoh bagi anak-anak lainnya untuk selalu berbakti kepada orang tua. Kita harus selalu menghormati dan membantu orang tua, karena mereka telah memberikan kasih sayang dan pengorbanan yang luar biasa untuk kita.

""""



Aku selalu memacu diri untuk menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua. Aku memetik hikmah dari cerita yang aku baca dari tokoh Chairunisa. Berakhlak mulia.



Keinginan ini semakin kuat ketika aku melihat ayah dan ibu yang bekerja keras demi menghidupi kami. Tangan mereka yang kasar dan kulit mereka yang kusam menjadi bukti nyata perjuangan mereka. Aku tak ingin mereka terus hidup dalam keprihatinan.



Cita-cita pun mulai terukir dalam benakku. Aku ingin mengenyam pendidikan yang tinggi, mendapatkan pekerjaan yang layak, dan membantu orang tua agar aku menjadi generasi penerus yang lebih baik lagi. Aku ingin memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka.



Sejak saat itu, aku belajar dengan lebih giat. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Aku ingin mewujudkan cita-citaku dan membanggakan orang tuaku.



Perjalanan hidupku tak selalu mulus. Ada banyak rintangan dan tantangan yang harus aku hadapi. Namun, tekad dan semangatku tak pernah padam. Aku terus melangkah maju, menggapai mimpi-mimpiku.



Kini, setelah 40 tahun berlalu, aku masih ingat dengan jelas peristiwa di sawah itu. Peristiwa yang menjadi titik balik dalam hidupku dan menumbuhkan tekadku untuk mengubah nasib. Aku telah mencapai banyak hal dalam hidupku, dan aku bersyukur atas semua yang telah aku lalui.



Namun, rasa hormat dan cintaku kepada orang tua tak pernah pudar. Mereka adalah pahlawanku, panutanku dalam hidup. Aku tak akan pernah melupakan pengorbanan dan kasih sayang mereka.



Kisahku ini menjadi bukti bahwa mimpi dan tekad dapat mengubah hidup. Apapun rintangan dan tantangannya, kita harus selalu semangat untuk meraih cita-cita. Jangan pernah menyerah, dan percayalah bahwa masa depan yang lebih cerah menanti di depan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama