Sensasi menikmati Kuliner Lokal :Kue Serabi, Makanan Kelas Bawah yang Makin Wah !

Dok. Cakra Banten 


"Lembut, wangi, gurih dan mengenyangkan".


Gambaran menggoda dari kue berbentuk bulat berbahan dasar tepung beras, kelapa parut tanbah garam. Diuleni tangan lembut kaum ibu pertiwi selama bertahun tahun setia dengan panganan tradisional. Godaan daftar makanan pendatang yang terlihat menggiurkan, saya tetap bergeming tak berpaling.


Sejarah menuliskan, kue serabi sudah ada pada tahun-an menjadi kuliner terkenal di Solo. Ada juga serabi Bandung yang dibuat dengan bahan yang berbeda. Serabi Solo menggunakan bahan dasar tepung beras, sedangkan serabi serabi Bandung berbahan dasar terigu. Serabi atau surabi dalam bahasa sunda berarti besar. Jika disebut makanan kecil, maka serabi lebih dari sekedar cemilan. 


Cara pengolahan yang unik, tanpa minyak. Tungku tanah berbaris rapi, di atasnya cetakan yang juga terbuat dari tanah dipasang sejajar. Setiap kali adonan akan dituang, usapan sapu jerami membersihkan alas cetakan dari remah tersisa. Asap mengepul menusuk mata, tak menyurutkan minat untuk antri sejak pagi, sembari menikmati tubuh yang menghangat berdiang di depan perapian.


Ibu penjual dengan penuh ramah, duduk di kursi jongkok terbuat dari kayu, cekatan mengatur nyala api agar tetap stabil. Sesekali tutup dibuka dengan capit kayu sekedar memastikan serabi matang sempurna. Jika ingin menambah taburan di atasnya, racikan oncom pedas atau telur ditambahkan saat serabi setengah matang, lalu menutupnya kembali. 


Waktu memasak sekitar tiga menit saja, jika bagian atas adonan mulai mengembang dan bagian bawah sudah mengeras bahkan sedikit gosong, segera serabi diangkat dan diletakkan di alas daun pisang, menyeruakan aroma yang tidak didapat dari kudapan lain. Saat seperti itu seolah ada seruan untuk secepatnya menikmati, bahkan ketika asapnya masih mengepul hmmmmmmm. 


Berbeda dengan serabi lainnya yang disantap menggunakan saus gula merah atau kinca, serabi di daerah Kuningan Jawa Barat dinikmati dengan cita rasa gurih dan asin, ditemani gorengan oncom atau tempe berbalut tepung, taburan oncom pedas atau telur ceplok di atasnya, menambah sensasi dan kekayaan rasa.


Kudapan yang dibuat tanpa perasa buatan, bahan alami hanya garam dan gurihnya kelapa parut menjadikan serabi salah satu pilihan sarapan sehat tanpa takut tenggorokan tercekat. Harganya tak akan membuat dompet berkerut. Kue serabi tak akan membuatmu bangkrut. Satu dua potong sudah cukup mengganjal perut. Tidak perlu resah, cukup murah-meriah, hanya seribu rupiah. Bila perlu habiskan sepiring kue serabi dan sampai jam makan siang perutmu bebas dari keroncongan.


Urusan gizi tentu tidak diragukan lagi. Menurut sumber informasi gizi Kementrian Republik Indonesia, setiap 100 gram kue serabi, mengandung energi sebesar 245 kilokalori, protein 6 gram, karbohidrat 43, 9 gram, lemak 5 gram, kalsium 22 miligram, fosfor 20 miligram, dan zat besi 2,6 miligram. Perhitungan itu sesuai dengan kondisi tubuh orang Indonesia setiap kali kita menyantapnya. Perut kenyang, hatipun senang. Mungkin enzim-enzim yang ada pada lambung segera mengirim signal pada otak, seketika melepaskan dopamin dan serotin, dua jenis neorotransmitter di otak yang menyebabkan bahagia.


Perkembangan zaman memaksa kue serabi ikut dalam kompetisi rasa yang tak mau kalah. Kehadiran makanan Italia, Jepang, Korea dan banyak negara tetangga yang dengan senang hati menyajikan daftar menu yang menggugah selera. Kue serabi segera berinovasi. 


Cara pengolahan pun lebih berkelas, tidak lagi menggunakan tungku tanah berbahan bakar kayu. Cita rasa yang beragam dengan berbagai topping tersedia sebagai pilihan, keju, coklat, pisang, daging cincang, bahkan buah buahan menyemarakkan warna dan tampilannya.


Harga pun semakin “Wah”. Dari seribu rupiah menjadi sepuluh ribu rupiah setiap porsi. Sesuai dengan bermacamnya bahan yang dipadukan sebagai pelengkap sajian. Cafe mewah turut menambahkan serabi pada daftar menu. Alas daun pisang berganti piring berhias. Menjadikan serabi yang biasa dijajakan di pinggir jalan, beralih ke gerai penjualan yang nyaman. Tanpa menghilangkan cita rasa aslinya, serabi menjelma menjadi salah satu destinasi kuliner siapapun penikmat jajanan tradisional. Betapa kaya khasanah kuliner negeri ini, tak kalah dengan invansi makanan luar. 



Oleh : Ihah Parihah, M.Pd
(Guru SDN Gudang IV Tigaraksa Tangerang Banten)


Editor : Redaksi Cakra Banten 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama