Dok. Cakra Banten // Resensi Buku
Oleh : Eka Budianta
Puji syukur tahun 2023 ini Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menetapkan Upacara Cio Tao dan Laksa sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) kota Tangerang.
Jika kita bicara sejarah, konon pada awalnya, para imigran dari Tiongkok di abad 14 mulai menetap di Teluk Naga lalu menikahi perempuan pribumi kemudian peranakan Tionghoa ini menyebar hingga di seputar Benteng VOC, dekat Pasar Lama Tangerang. "Maka sudah beratus-ratus tahun lalu mereka telah masuk Nusantara,” kata seorang narasumber. Ia sedang diwawancara tentang tradisi Cio Tao. Apa itu Cio Tao? “Paling tidak sudah 600 tahun Cio Tao dilaksanakan di sini,” kata narasumber lainnya. Dan sekarang penyair Rini Intama menulis Cio Tao sebagai judul buku sekumpulan puisinya. Dan bukan hanya puisi, Rini Intama juga pernah menulis cerpen Ayin perempuan Ciben dan juga tentang Cio Tao.
Ternyata Cio Tao adalah ritual pernikahan yang dilakukan oleh peranakan Tionghoa di Tangerang, sedangkan peralatan Cio Tao meliputi gunting, timbangan dan makanan 12 mangkuk yang berbeda-beda. Berikut ritual ritual lain di meja samkai, acara sangjit dan lain lainnya. Dalam Bahasa Hokkien, Cio Tao artinya “menyisir rambut”. Pada saat itulah seorang manusia dinyatakan berubah dari kanak-kanak menjadi dewasa. Setidaknya inilah salah satu yang dipelajari oleh Rini Intama. Tentang upacara Cio Tao yang saat ini sudah mulai sedikit kita temukan di beberapa perkampungan Cina Benteng Tangerang. Dan upacara Cio Tao didominasi oleh warna merah. Yang “Menggambarkan warna kegembiraan dan cinta”.
Dari serangkaian tulisannya saya menangkap benang merah yang panjang tentang Tangerang dan Ciben, karena sebelum menulis buku Cio Tao ini, Rini Intama juga menulis buku puisi berjudul Kidung Cisadane yang mendapatkan penghargaan pada tahun 2016 dari Yayasan Hari Puisi Indonesia, juga pada tahun 2017 mendapat Anugerah Acarya Sastra bagi Pendidik dari Badan Penelitian dan Pengembangan Bahasa Kemendikbud.
Lalu siapakah Rini Intama itu? Apakah dia termasuk warga Ciben? Bukan! Papanya dari Manado, nama marganya Intama. Papanya wafat satu minggu sebelum Rini menerima hadiah dari Pemerintah Republik Indonesia itu Oktober 2017. Mamanya orang Sunda, kelahiran Garut, namanya Siti Ruyati, wafat pada Juni 2018. Sehari-hari Rini adalah pendidik, penulis dan ibu dengan tiga orang anak. Jadi, kalau Rini menekuni dan menulis kebudayaan Ciben bukan semata mata karena ia termasuk pendatang di Tangerang. Tapi ada kegembiraan lain sebagai ibu, sebagai perempuan sekaligus sebagai penulis adalah dia merasa mendapat anugerah terbesar ketika suami dan anak anaknya menjadi support system yang baik dalam mendukung semua kegiatan dan keinginannya menulis.
Jadi semua yang Rini Intama lakukan itu lahir karena besarnya cinta dan keinginan kuat untuk menuliskan semua kegelisahannya. Dan kita semua patut bersyukur sebab Rini telah melakukan semua upaya penelusuran, meneliti dan mempelajari selama bertahun tahun terhadap objek yang ditulisnya yakni kebudayaan Ciben Tangerang, kita dapat membaca catatannya dalam buku ini. “Kalau Ciben sampai terlupakan, bangsa Indonesia kehilangan satu khasanah budayanya.” Dan beruntunglah, belakangan promosi ritual Cio Tao semakin banyak dan menggelora. Bahkan di kalangan milenial perjuangan untuk melaksanakan Cio Tao semakin gencar.
Setidaknya melalu buku ini Rini Intama sudah berusaha menyampaikan pesan, pikiran, perasaan dan imajinasinya melalui kata dan diksi diksi yang baik. Semoga Rini juga berhasil mencatat dan mempromosikan adat-istiadat Cio Tao dengan sebagus-bagusnya melalui jalan puisi.
Perempuan Ciben bilang Cio Tao hanya dilakukan sekali dalam seumur hidup. Yang penting kita mendapat pengetahuan, mengapa pengantin diharuskan mencicipi 12 jenis masakan? Karena hidup memang penuh bermacam rasa. Ada yang manis, asin, pahit dan pedas. Seperti halnya puisi-puisi yang dihimpun Rini Intama dalam buku ini. Selamat !!
Editor : Redaksi Cakra Banten
Posting Komentar