Membangun Budaya Politik di Tangerang Berbasis Kesenian Kearifan Lokal

Salah satu penggiat Seni Wayang Golek, Dalang Yayat Ajen


Oleh SIERA PAYAKUMBUH


CAKRA Banten,- Pesta demokrasi daerah, sebagai bentuk budaya baru dalam bernegara, intinya sebagai sebuah kesadaran kondisi transisional untuk menentukan leader dan leadership di suatu wilayah atau negara. Sebagai salah satu bentuk kepedulian masyarakat terhadap perkembangan dan kemajuan wilayahnya.

Budaya bangsa kita sudah terkenal selaras dengan alam, kesantunan dan keguyuban. Keterikatan dari satu tangga ke tangga yang lain bukan berarti identik dengan budaya kompromi, tetapi lebih cenderung pada penyelesaian secara adat. Adapun intisari dari perkembangan zaman sekarang adalah menyelesaikan sesuatu dengan hukum yang berlaku (bukan saja aspek politik) ataupun pembentukan opini dan pengerahan massa.

Aspek yang akan kami kedepankan adalah deskripsi aspek normative, berdasarkan kajian dan tinjauan berbagai sudut akar budaya asli di wilayah Benteng. Sebenarnya, tidak ada kaitannya sama sekali dengan jiwa Paternalistik, tetapi lebih condong pada budaya kepemimpinan dalam permusyawaratan dan perwakilan.

Budaya asli masyarakat akan memberikan pantulan pada budaya sekarang, sehingga karakteristik suatu masyarakat bisa digali dari pola tingkah laku masyarakat tersebut dalam menyusun dan melaksanakan tatanan perikehidupannya. Walaupun wajah heterogenitas, modernitas, dan mentalitas positif-negatif telah mewarnai wajah asli masyarakat saat ini.

Budaya Berkesenian Di Tangerang

Budaya menurut Koentjoroningrat merupakan hasil cipta, rasa dan karsa suatu masyarakat. Kaitannya adalah berkesenian yang didorong karena pengolahan rasa sehingga kehalusan budi tercermin dalam pribadi masyarakatnya. Kehalusan ini akan berdampak pada aspek sosial budaya dan sosial politik.

Dari proses interaksi berkesenian inilah budaya pun menjadi pola pikir yang berpengaruh ke seluruh lini perikehidupan masyarakat. Menjadi ‘ruh’ pijakan pemikiran yang disadari ataupun tidak oleh individu tersebut.

Dari berbagai pengamatan yang dapat dideskripsikan di sini, diantaranya berkaitan dengan jiwa kesenian yang menjadi landasan munculnya hal tersebut di daerah ini, diantaranya adalah budaya yang bernafaskan religi, yang berlandaskan jejak budaya proto masyarakat tersebut pun akulturasi dengan masyarakat luar.

Di antara budaya yang berlandaskan religi, tentunya masyarakat Tangerang yang menduduki wilayah seluas 959.61 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2021/2022 sebanyak 3.293.533 / 3.352.472 jiwa, dengan laki-laki, 1.684.328 / 1.713.548 jiwa dan perempuan, 1.609.205 / 1.638.924 jiwa. Berdasarkan open data Kabupaten Tangerang, komposisi keberagaman pemeluk agama masyarakat Kabupaten Tangerang tahun 2021 antara lain, Islam, 2.988.772 jiwa; Katolik, 41.686 jiwa; Protestan, 99.059 jiwa; Hindu, 1.964 jiwa; Budha, 53.184 jiwa; Konghucu, 725 jiwa, dan Kepercayaan, 162 jiwa. Komposisi ini menunjukkan budaya masyarakat setempat dipengaruhi oleh ritualitas keislaman yang sangat kental.

Berkesenian secara umum berarti melahirkan jiwa-jiwa seni atau budaya masyarakat. Di Tangerang budaya Islam yang bisa dilihat adalah Marhaba Rakbi (dikenal dengan istilah Marhabaan). Uniknya, akhir tahun 80-an Marhabaan dilakukan untuk prosesi khitanan anak laki-laki. Sayangnya, prosesi ini hampir bahkan bisa dikatakan punah di wilayah ini. Penggunaan prosesi ini berbeda di wilayah Banten lainnya seperti yang dideskripsikan buku ”Profil Seni Budaya Banten” (Dispendik Prov. Banten, 2003). Selain Marhabaan dikenal juga Asrokolan. Keduanya, sama-sama sholawat yang mengagungkan Nabi Muhammad SAW.

Seperti di wilayah Banten lainnya, marhabaan juga digunakan untuk prosesi pemberian nama kepada si cabang bayi. Sang bayi di arak keliling ketika hadirin berdiri melantunkan Marhabaan diikuti nampan dengan lilin dan kelapa muda yang dihiasi pernak-pernik uang. Pada saat diarak itulah cukuran terhadap bayi tersebut dilakukan dan rambut hasil cukuran dimasukan ke dalam kelapa muda. Menurut kebiasaan dahulu jika orang tuanya berkelebihan, hasil cukuran ditimbang kemudian digantikan dengan emas, emas pun dijual hasilnya kemudian disedakahkan atau dijariahkan.



Keunikan lain, dari kebiasaan masyarakat Islam Tangerang, selalu dikumandangkannya pembacaan manakib Syekh Abdul Qodir Jaelani atau lebih dikenal dengan istilah mamaca. Saat penduduk akan melakukan malam pengisiian rumah baru, pesta perkawinan, ataupun acara selamatan lainnya. Moment yang paling khas pada prosesi mamaca pengisian rumah adalah dikala sesi pantek paku.

Adapun pada bagian pupuh tertentu terdapat acara Numbak, yakni mencoba meramal nasib ke depan dengan menyelipkan uang recehan atau kertas pada lembaran halaman manakiban tersebut. Memorial acara ini mengingatkan kami saat pembaca syekh melantunkan pupuh demi pupuh dengan suaranya yang merdu. Mamaca masih tumbuh subur tetapi kebiasaan ikutannya sudah jarang dilakukan masyarakat saat ini.

Kesenian rakyat Tangbar lain yang hampir punah adalah Terbang peninggalan Ibu Nyi Mas Malati yang sekarang dipimpin Bapak Sakib di Desa Bunar, Sukamulya. Grup kesenian dimainkan oleh lima orang pemain (2 pemain rebana, 1 pemain kecrek, 1 pemain rebab dan seorang sebagai pedendang shalawat). Kondisi sekarang menyedihkan tidak ada perawat, penggali, dan penerus kesenian ini. Diprediksi kurang dari 1 dekade lagi peninggalan kesenian ini tinggal nama saja.

Satu alat kesenian lagi yang konon nasibnya akan sama adalah gambang, angklung, dan bedug peninggalan Ki Buyut Kati dari Tonjong, Kresek. Diperkirakan kemunculan kesenian buhun ini tidak jauh dari masa keemasan Terbang Ibu Nyi Mas Malati (1658-an). Salah satu tokoh fenomenal di wilayah ini. Pijakan hukum untuk menjaga budaya ini yang dapat dijadikan landasan adalah UU No. 5 Thn. 1992 tentang Benda Cagar Budaya Pasal 18 (1) dan UU No. 19 Thn. 2002 tentang 2002 tentang Hak Cipta Pasal 10 (1) & (2) sehingga tidak ada lagi ewuh pakewuh atau ‘kebakaran jenggot’ dikemudian hari atas pengklaiman budaya tersebut.

Alam kesenian rakyat yang tidak banyak diminati pemuda saat ini antara lain antara lain kesenian wayang golek. Hasil wawancara kami dengan penggiat kesenian rakyat wilayah ini tinggal 3 group wayang golek yang masih eksis di wilayah ini, antara lain: group wayang golek Murta Ponah I pimpinan Dalang Murjana (Sukamulya), Murta Ponah II pimpinan Dalang Mursidin (Sukamulya), dan Gentra Lodaya II pimpinan Dalang Agus Baskara (Pangkat-Jayanti). Dua dalang terakhir ini konon kabarnya, sudah diakui di kancah nasional.

Dari data yang dapat dihimpun kesenian rakyat lain yang masih eksis adalah topeng. Kesenian ini mirip dengan lenong betawi atau lebih mirip dengan lakon jenaka Opera Van Java.

Di antara group topeng yang masih aktif berdasarkan penelusuran kami di daerah ini antara lain yang terkenal Grup Topeng Tolay (Sukabakti-Curug), Topeng Gentong pimpinan Gr. Usup (Parahu-Sukamulya), Sinar Balebat pimpinan Bpk. Markata (Benda-Sukamulya), Centong pimpinan Bpk. Said (Tonjong-Kresek), Giri Asih pimpinan Bpk. Saudi (Koper-Kresek), Odah-Saputra pimpinan Ibu Odah (Bojong Manuk-Kresek), Eroh pimpinan Bpk. Cekong (Cempaka-Cisoka), Canung pimpinan Bpk. Canung (Cempaka-Cisoka), Mekar Wangi pimpinan Bpk. Padil Irawan (Pangkat-Jayanti). Entah group topeng tersebut masih eksis atau tidak saat ini. Untuk Group Topeng Tolay masih bisa kita saksikan di Kanal Youtube.

Dari sekian group topeng ini ke-eksistensian-nya ditentukan para nayaga-nya yang hanya bergantung pada frekuensi panggilan para peminatnya saja. Oleh karena itu, diperlukan adanya perhatian khusus para inohong sehingga keberadaanya menjadi ikon wisata budaya daerah ini.

Harapan yang diperlukan, adanya design khusus untuk memajukannya dengan inovasi kekinian dalam rangka mendongkrak devisa daerah. Budaya-budaya rakyat yang ada pun tidak hanya sebagai simbol dalam seremonial untuk tujuan mempresentasikan keberadaan kesenian saja, tetapi menjadikan wahana sosialisasi program kerja unggulan pememerintah pusat dan pemerintah daerah, yang berdampak pada peningkatan indeks pembangunan manusia dan kehalusan budi masyarakat yang semakin terkikis.

Budaya Politik Di Tangerang

Demokrasi menjadi pilihan bangsa kita yang majemuk, terutama dalam rangka memajukkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pilihan ini yang kemudian menjadikan proses, yang memakan waktu dan kesabaran untuk menjadikan masyarakat kita melek dalam berpolitik dan menyalurkan hasrat politiknya. Tentu saja proses edukasi sehingga menghasilkan masyarakat yang melek politik dilakukan dengan berbagai bentuk kegiatan tak terkecuali bagi usia dini, disabelitas hingga manula.

Keharusan pendorong partisipasi masyarakat bagi 1.757.589 jiwa dari 890.806 laki-laki dan 866.783 wanita – Total data pemilih dari DPT, DPPh, dan DPTb, pada Pemilu 2019. Jika dipersentasekan pada Pemilu 2019 baik Pilpres, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten Tangerang dengan tingkat partisipasinya cukup tinggi, yakni 80%. Adapun partisipasi masyarakat pada saat Pilbup 2018, yakni, 1.148.056 jiwa dari 534.766 laki-laki dan 613.290 wanita – Total data pemilih dari DPT, DPPh, dan DPTb, pada Pilbup 2018 ini tingkat partisipasi masyarakatnya sebesar, 62% (Data KPU Kab. Tangerang pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2018).
Bagi kami bukan menang atau kalah, tetapi persentase tingkat partisipasi masyarakat tersebut ketika pesta digelar. Pernahkah kita berpikir bahwa pada saat lepas dari perhelatan tersebut? Ternyata kita masih punya PR tentang ini. Kita semestinya mendidik masyarakat kita agar melek politik dalam rangka meminimalisir kekurangan dan kecurangan pesta tersebut.

Masih terbayang oleh kami ketika masih duduk di bangku SMA, waktu itu, tidak ada bahasa money politics dalam Pilkades. Namun di penghujung tahun ’90-an saat Pilkades kembali hadir penyakit itu tiba-tiba menggerogoti naluri pemilih. Entahlah budaya semacam itu muncul di Kabupaten Tangerang. Faktor gensi masyarakat pun semakin menggila-gila. Kami tidak ingin memunculkan dari mana ‘virus’ itu muncul. Tetapi bagaimana menghilangkan perlahan-lahan atau jika mampu sekaligus, sehingga tidak menjadi penyakit yang acut tingkat tinggi dan melumpuhkan pesta demokrasi di kampung kita.

Solusinya adalah mendidik politik bersih, dengan kesenian dan perhelatan dalam ritual keagamaan sehingga penghematan bisa dilakukan. Karena pada saat itu semua lapisan masyarakat hadir dan bisa tampil dalam rasa kebersamaan – atau dalam istilah kami ke-guyub-an. Tumpah ruahnya masyarakat di saat jauh sebelum menjelang pesta demokrasi menjauhkan anggapan apriori dan alergi masyarakat terhadap politik.

Kaum muda dan kalangan intelektual, harus bergerak ke depan dan mulai diberi kesempatan untuk sebuah tanggung jawab atas kemajuan yang dimulai dari perubahan atas kampung halamannya. Stagnasi akan lincah dengan sendirinya dalam proses dinamisasi zaman jika ditata dengan sebuah harapan baru. Maka budaya politik baru akan muncul di tanah ini dengan optimisme yang dipandu oleh jiwa bijak dari sesepuh sebagai pengejawantahan janji yang telah terucapkan!

Tinjauan kesenian sebagai dagangan yang bermartabat belum muncul di wilayah ini. Padahal kesenian akan memberikan dampak yang infiltratif yang halus, lembut dan tumbuh dalam jiwa setiap insan. Plus disokogurui dengan kegiatan ritual religi yang mampu mengarahkan keguyuban dalam membelai manusianya untuk berfikir dan menjadikan wilayahnya baldatun toyibatun warabun gofur. Seperti yang termaktub dalam Lagu Himne Tangerang.

Dari kesadaran menjaga warisan budaya guyub inilah warga Kabupaten Tangerang tetap terjaga ketentramannya dari berbagai sudut. Masyarakatnya yang someah terhadap pendatang dan berangkulan dalam setiap perhelatan akan tetap terjaga jika diwasiti dengan tanpa kepentingan oleh setiap aparatur baik oleh pemerintah dan pemerintah daerah (SPY).



Editor : Edi Kusmaya (Pimred Cakra Banten)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama